Adalah Sebuah fakta yang menyedihkan bahwa masih banyak kaum muslimin diliputi perasaan minder dan malu memberikan nama kepada anaknya dengan nama Islami. Namun sebagian lagi masih memiliki semangat keislaman yang baik sehingga memberi nama anaknya dengan nama yang telah ‘dianggap’ Islami. Namun disayangkan, pada hakikatnya nama mereka belum cocok dengan adab Islami. Contohnya nama “ ‘Abdurrasul Syihab Saifullah” atau “Fathin Nadiyah Rahmatullah” yang mungkin dirasakan sebagai nama Islami yang bagus dan indah, namun ternyata nama ini bermasalah, dengan sejumlah kekeliruan di dalamnya.
Sebenarnya, cara penamaan anak tidaklah hanya didasari dengan perasaan subyektif bahwa nama tersebut indah, baik atau bagus semata, namun yang benar ialah nama yang sesuai dengan bimbingan syari’at.
Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar pemberian nama yang mayoritas pembahasannya kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat untuk diri kami individu pun kaum muslimin.
Sesungguhnya nama adalah identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan keperluan yang paling urgen dalam mengetahui dirinya saat bersamanya, atau ketika bersikap kepadanya. Untuk seorang anak, nama adalah sebuah perhiasan dan syi’ar yang dengannya ia bakal dipanggil di dunia maupun di akhirat. Nama merupakan format pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia tergolong pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam, bagaimana ia mengolah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain adalah karena nama adalah syi’ar baginya. Nama pun adalah tanda yang bisa mengungkap identitas orang tuanya dan sebagai alat pengukur terhadap pemahaman diennya.
Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan untuk keturunan Adam untuk memberikan sebuah nama pada anak, sebagaimana Allah sudah memberi nama “Yahya” untuk putra Nabi Zakariyya ‘alaihis salam yang dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ berkata bahwa semua ulama bersepakat atas wajibnya memberikan sebuah nama, baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Anak yang tidak mempunyai nama tidak bakal dikenal (majhul) dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak dapat dibedakan, seba* nama bermanfaat untuk menilai, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama ialah hal pertama yang diperuntukkan untuk anak saat ia lahir dari kegelapan rahim
2. Nama ialah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama ialah hal pertama yang dilaksanakan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang mempunyai hubungan sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama ialah bekal untuk seorang anak guna masuk ke tengah-tengah masyarakat.
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa masa-masa pemberian nama ada 3 macam:
1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya mempunyai sifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang dapat ditoleransi) yang mengindikasikan bahwa dalam permasalahan ini ada kelonggarannya.
Berdasarkan soalan tersebut, maka seorang ibu hendaknya tidak menyangkal dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua orang tua ada suatu peluang yang luas guna saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.
Sebagaimana sudah diriwayatkan dengan shahih dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka sering menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam supaya beliau berkenan memberikan nama. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah dalam menentukan sebuah nama dengan seorang ulama yang memahami tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya supaya menunjukkan kepadanya suatu nama yang baik untuk anaknya.
Sebagaimana pemberian nama ialah merupakan hak untuk seorang ayah, maka seorang anak pun dinisbahkan (disandarkan) untuk ayahnya, bukan untuk ibunya, dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa dinamakan “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)
Namun ada fakta bahwa terjadi penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sampai-sampai* mereka mengatakan, contohnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini adalah uslub (tata bahasa) yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak cocok dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki status dalam tata bahasa Arab (I’rob). Apakah dunia sudah mendengar seseorang yang menyinggung nasab Nabi dengan menuliskan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini sudah mengundang kesamaran ketika digabungkan antara nama laki-laki dengan nama perempuan, misalnya; Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kesalahan para istri yang menisbahkan namanya untuk suami. Misalnya istri mempunyai nama Fathimah bin ‘Abdullah, sesudah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini tidak sedikit dijumpai pada masyarakat umum.
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:
1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:
Berikut ini beberapa nama yang dimakruhkan atau tidak disukai penggunaannya:
Sebenarnya, cara penamaan anak tidaklah hanya didasari dengan perasaan subyektif bahwa nama tersebut indah, baik atau bagus semata, namun yang benar ialah nama yang sesuai dengan bimbingan syari’at.
Berikut ini etika dan hukum-hukum seputar pemberian nama yang mayoritas pembahasannya kami sarikan dari Kitab “Tasmiyatul Maulud” karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah. Semoga bermanfaat untuk diri kami individu pun kaum muslimin.
Sesungguhnya nama adalah identitas seseorang, bukti atas dirinya, serta merupakan keperluan yang paling urgen dalam mengetahui dirinya saat bersamanya, atau ketika bersikap kepadanya. Untuk seorang anak, nama adalah sebuah perhiasan dan syi’ar yang dengannya ia bakal dipanggil di dunia maupun di akhirat. Nama merupakan format pujian terhadap agama dan pertanda bahwa ia tergolong pemeluknya. Lihatlah seseorang yang masuk ke dalam dinul Islam, bagaimana ia mengolah namanya menjadi nama syar’i, tidak lain adalah karena nama adalah syi’ar baginya. Nama pun adalah tanda yang bisa mengungkap identitas orang tuanya dan sebagai alat pengukur terhadap pemahaman diennya.
- HUKUM PEMBERIAN NAMA
Allah subhanahu wa ta’ala menuntunkan untuk keturunan Adam untuk memberikan sebuah nama pada anak, sebagaimana Allah sudah memberi nama “Yahya” untuk putra Nabi Zakariyya ‘alaihis salam yang dilahirkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Hai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang serupa dengannya.” (QS Maryam: 7)
Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijma’ berkata bahwa semua ulama bersepakat atas wajibnya memberikan sebuah nama, baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Anak yang tidak mempunyai nama tidak bakal dikenal (majhul) dan tersamarkan dengan yang lainnya, tidak dapat dibedakan, seba* nama bermanfaat untuk menilai, membedakan, dan mengenali si anak.
Pentingnya nama antara lain:
1. Nama ialah hal pertama yang diperuntukkan untuk anak saat ia lahir dari kegelapan rahim
2. Nama ialah sifat pertama yang membedakannya dengan sesama jenisnya
3. Nama ialah hal pertama yang dilaksanakan oleh seorang ayah terhadap anaknya, yang mempunyai hubungan sifat pewarisan dan keturunan
4. Nama ialah bekal untuk seorang anak guna masuk ke tengah-tengah masyarakat.
- WAKTU PEMBERIAN NAMA
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa masa-masa pemberian nama ada 3 macam:1. Memberinya nama pada hari kelahirannya
2. Memberinya nama pada hari ketiga dari kelahirannya
3. Memberinya nama pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Perbedaan ini hanya mempunyai sifat ikhtilaf tanawwu’ (perselisihan yang dapat ditoleransi) yang mengindikasikan bahwa dalam permasalahan ini ada kelonggarannya.
- YANG BERHAK MEMBERI NAMA
Berdasarkan soalan tersebut, maka seorang ibu hendaknya tidak menyangkal dan menyelisihi. Sementara dalam musyawarah antara kedua orang tua ada suatu peluang yang luas guna saling meridhai, berlemah-lembut, dan memperkokoh tali hubungan antarkeluarga.
Sebagaimana sudah diriwayatkan dengan shahih dari beberapa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka sering menyodorkan putra-putri mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam supaya beliau berkenan memberikan nama. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang ayah hendaknya bermusyawarah dalam menentukan sebuah nama dengan seorang ulama yang memahami tentang sunnah atau ahlus sunnah yang terpercaya dalam dien dan ilmunya supaya menunjukkan kepadanya suatu nama yang baik untuk anaknya.
- NISBAH ANAK
Sebagaimana pemberian nama ialah merupakan hak untuk seorang ayah, maka seorang anak pun dinisbahkan (disandarkan) untuk ayahnya, bukan untuk ibunya, dan dia dipanggil dengan nama ayahnya, bukan dengan nama ibunya. Maka dalam penulisan nama, biasa dinamakan “fulan bin fulan”, dan bukan dipanggil “fulan bin fulanah”.Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ ِلآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah…” (QS Al Ahzab: 5)
Namun ada fakta bahwa terjadi penghilangan lafazh “ibnu” pada nama fulan ibnu fulan dan ini mulai menyebar di kalangan kaum muslimin pada abad 14 Hijriyah, sampai-sampai* mereka mengatakan, contohnya Muhammad ‘Abdullah.
Ini adalah uslub (tata bahasa) yang dibuat-buat, asing, tidak dikenal oleh bangsa Arab, dan tidak cocok dengan lisan mereka, bahkan tidak memiliki status dalam tata bahasa Arab (I’rob). Apakah dunia sudah mendengar seseorang yang menyinggung nasab Nabi dengan menuliskan Muhammad ‘Abdullah?
Lihatlah bagaimana penghilangan (lafazh ibnu) ini sudah mengundang kesamaran ketika digabungkan antara nama laki-laki dengan nama perempuan, misalnya; Asma’ dan Kharijah. Nama ini tidak akan jelas di atas kertas, kecuali dengan menyambungkan nasab dengan lafazh “ibnu” fulan atau “binti” fulan.
Terdapat pula kesalahan para istri yang menisbahkan namanya untuk suami. Misalnya istri mempunyai nama Fathimah bin ‘Abdullah, sesudah menikah dengan Ahmad maka ia menisbahkan namanya menjadi Fathimah Ahmad. Ini tidak sedikit dijumpai pada masyarakat umum.
- ADAB PEMBERIAN NAMA
Nama memiliki sejumlah adab sebagai berikut:1. Bersungguh-sungguh untuk memilih nama yang paling dicintai
2. Memperhatikan sedikitnya huruf seoptimal mungkin
3. Memperhatikan ringannya untuk diucapkan oleh lisan
4. Memperhatikan pemberian nama yang cepat menghujam dalam pendengaran seseorang
5. Memperhatikan kesesuaian
- NAMA-NAMA YANG DIHARAMKAN
Syari’at telah mengharamkan pemberian nama dengan salah satu dari bentuk penamaan di bawah ini:- Nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, seperti nama ‘Abdur Rasul (hambanya rasul), ‘Abdu Ali (hambanya Ali), ‘Abdul Husain (hambanya Al Husain), ‘Abdusy Syams (hambanya matahari), dan lain-lain.
- Nama-nama yang khusus untuk Allah tabaraka wa ta’ala seperti Ar Rahman, Ar Rahim, Al Khaliq, Al Bari’, dan lain-lain.
- Nama-nama ‘ajam (selain Arab) yang biasa digunakan oleh orang-orang kafir seperti nama Petrus, George, Diana, Rosa, Suzan, Steven, dan semisalnya. Ini merupakan taqlid (ikut-ikutan/membebek) kepada orang kafir yang bila disertai keyakinan bahwa nama-nama mereka lebih baik daripada nama-nama kaum muslimin maka ini merupakan bahaya yang besar yang dapat menggelincirkan pokok keimanan.
- Nama-nama berhala seperti Latta, ‘Uzza, Isaf, Nailah, dan Hubal.
- Nama-nama ‘ajam dari Turki, Persia (Iran), Barbar atau selainnya yang tidak sesuai dengan bahasa Arab dan lisannya, di antaranya Nariman, Syerehan, Nevin, Syeirin, Syadi, dan Jihan.
- Nama yang mengandung klaim terhadap apa yang tidak ada pada si penyandang nama, seperti Malakul Amlak (raja diraja), Sulthanus Salathin (sultan segala sultan), Hakimul Hukkam (hakim segala hakim), Sayyidun Nas (pemimpin seluruh manusia), Sittun Nisa’ (penghulu seluruh wanita).
- Nama-nama syaithan seperti Hinzab, Al Walhan, Al ‘Awar, Al Ajda.
- NAMA-NAMA YANG DIMAKRUHKAN
- Nama yang menyebabkan hati cenderung untuk menjauh darinya karena makna yang terkandung padanya seperti Harb (perang), Murroh (pahit), Khonjar (pisau besar), Fadhih (membuka aibnya), Fahith (terancam bahaya), Nadiyah (jauh dari air), dan lain-lain.
- Nama yang mengundang syahwat yang banyak digunakan pada perempuan, di antaranya Ahlam (lamunan), Arij (perempuan yang semerbak baunya), ‘Abir (perempuan yang harum baunya), Ghodah (perempuan yang lemah-gemulai/genit), Fathin (pembuat fitnah), dan Syadiyah (penyanyi).
- Nama kaum fasiq yang kosong hatinya dari kemuliaan iman, seperti nama para artis, penyanyi, pelawak.
- Nama yang menunjukkan atas dosa dan maksiat seperti nama Zhalim bin Sarraq (Zhalim bin pencuri).
- Nama-nama tokoh kekafiran seperti Fir’aun, Qarun, Haman.
- Nama yang dibenci seperti Khabiyyah bin Kannaz (penilep bin penimbun).
- Nama-nama hewan yang terkenal dengan sifat kotor seperti Hanasy (ular berbisa), Himar (keledai), Qunfudz (landak), Qunaifadz (landak kecil), Qirdani (kutu binatang), Kalb (anjing), Kulaib (anjing kecil).
- Nama yang disandangkan kepada lafazh ad dien dan al Islam, seperti Nuruddin (cahaya agama), Dhiyauddin (sinar agama), Saiful Islam (pedang Islam), Nurul Islam (cahaya Islam). Sebenarnya Imam Nawawi tidak suka dirinya diberi laqob (gelar) dengan Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga tidak suka diberi gelar Taqiyyuddin (yang menjaga agama). Beliau berkata, “Akan tetapi keluargaku menggelariku dengannya kemudian menjadi terkenallah gelar tersebut.”
- Nama yang murakkab (tersusun rangkap/lebih dari satu), seperti Muhammad Ahmad, Muhammad Sa’id. Nama-nama tersebut mengundang keraguan dan percampuran. Karenanya hal tersebut tidak dikenal di kalangan salaf, dan merupakan nama orang-orang abad belakangan. Termasuk pula nama-nama yang disandarkan kepada lafazh Allah seperti Hasbullah (cukuplah Allah sebagai penolong), Rahmatullah (rahmat Allah), kecuali nama ‘Abdullah (hamba Allah) karena ia adalah nama yang paling disukai Allah subhanahu wa ta’ala.
- Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama para malaikat seperti Jibril, Mikail, Israfil.
- Sebagian para ulama ada yang memakruhkan pemberian nama dari surat-surat Al Qur’anul Karim misalnya Thoha, Yasin, Hamim.
Postingan ini memiliki 0 Comments
Berkomentarlah dengan bijak!!
EmoticonEmoticon